Mempelopori reformasi sistem politik, pemerintahan dan birokrasi, peradilan, dan militer agar tetap berkomitmen terhadap penguatan demokrasi. Mendorong penyelenggaraan sistem ketatanegaraan
yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sebagai suatu keniscayaan yang harus dijalani, demi perubahan hubungan ketatanegaraan yang lebih baik. Menumbuhkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektualitas (Bersih, Peduli, dan Profesional). Reformasi birokrasi dan lembaga peradilan dengan memperbaiki sistem rekrutmen dan pemberian sanksi-hukuman, serta penataan jumlah pegawai negeri dan memfokuskan mereka pada posisi fungsional, untuk membangun birokrasi yang bersih, kredibel, dan
efisien. Penegakan hukum yang diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif. Mewujudkan kemandirian dan pemberdayaan industri pertahanan nasional. Mengembangkan otonomi daerah yang terkendali serta berorientasi pada semangat keadilan dan proporsionalitas melalui musyawarah dalam lembaga-lembaga kenegaraan di tingkat pusat, provinsi dan daerah. Menegaskan kembali sikap bebas dan aktif dalam mengupayakan stabilitas kawasan dan perdamaian dunia berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Menggalang solidaritas dunia demi mendukung bangsa-bangsa yang tertindas dalam merebut kemerdekaannya.

Politik adalah “aktivitas yang mendekatkan manusia kepada kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan serta mengantarkan kepada keadilan. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Al-Siyasah Al-Hakimiyyah ). Secara naluriah manusia tak mungkin lepas dari kegiatan politik. Al-Insan madaniyyun bi thabi’ih (manusia berpolitik secara alamiyah). Ungkapan itu sudah menjadi semacam kredo dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, terutama dalam ilmu sosial-politik, dan spektrum maknanya menjadi sangat luas, khususnya dalam pembahasan mengenai hubungan manusia dengan politik. Kendati banyak ragam
definisi politik dan aksi manusia secara individu dan kelompok dikemukakan para ahli, namun esensi yang terkandung dalam definisi dan aksi politik manusia tetap menekankan unsur-unsur dalam mewujudkan kemaslahatan bersama, terutama yang menyangkut ketenteraman dan kesejahteraan. Maka setiap aktivitas, upaya, dan perjuangan individu atau kelompok manusia untuk mencapai tujuan yang sejalan dengan ide individu dan kolektif tersebut secara umum dikategorikan sebagai tindakan politik dalam arti luas. Dalam literatur Islam, politik didefinisikan sebagai “aktivitas yang mendekatkan manusia kepada
kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan serta mengantarkan kepada keadilan”. Politik merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam sebagai sistem hidup paripurna. Karenanya, dalam pandangan Islam, aktivitas politik yang bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai universal, diniatkan dengan ikhlas, dan dilaksanakan dengan akhlak terpuji, akan bernilai ibadah. Secara umum, tujuan utama manusia dalam kegiatan politik berkaitan dengan keinginan untuk menciptakan keteraturan, rasa
aman, dan kesejahteraan dalam kehidupan bersama. Tujuan itu dicapai dengan menggunakan sistem yang dapat mengorganisir keanekaragaman individu dan kelompok yang memperjuangkannya, serta didasarkan pada watak ideologi yang melahirkan sejumlah nilai-nilai moral dan etika untuk memastikan agar aktivitas politik tidak keluar dari koridor ideologinya. Logikanya, politik harus sarat dengan dimensi moral-etis yang berakar pada ajaran, konsep, dan ideologi Islam. Dengan demikian, dalam jagat politik, moralitas dapat dikategorikan sebagai atribut ontologis yang menegaskan hakikat ideologi politik suatu bangsa. Politik yang tercerabut dari akar moral-ideologi sama dengan mendegradasi politik itu sendiri,
sebab hakikat politik sesungguhnya mengandung keutamaankeutamaan moral seperti kejujuran, kebijaksanaan, keadilan dan kebenaran, pelayanan, mementingkan orang banyak daripada diri sendiri dan kelompoknya, pengabdian, dan lain sebagainya.

Setiap tindakan politik harus menampilkan dimensi-dimensi etis tersebut. PK Sejahtera, sebagai bagian dari entitas politik nasional, berjuang dengan dasar aqidah dan asas Islam untuk mencapai tujuan universal Islam, yakni menciptakan Indonesia yang aman, adil, sejahtera dan bermartabat, dan dengan cara-cara yang sarat dengan moral-etis Islam tersebut. Dalam konteks Indonesia kontemporer, demi menggerakkan roda pembangunan nasional pasca krisis, dibutuhkan iklim politik yang kondusif, yakni terciptanya stabilitas politik dan keamanan dalam negeri yang mantap dan dinamis, sehingga pemerintah dan masyarakat dapat bekerja secara produktif untuk mensejahterakan bangsa. PK Sejahtera sebagai entitas politik Indonesia yang berjuang dengan dasar Islam dan moralitas terpuji berkeyakinan, bahwa berbagai upaya pembangunan di bidang politik, yang meliputi aspek ketatanegaraan, politik nasional, hukum, birokrasi, otonomi daerah dan hankam semestinya diarahkan untuk menciptakan stabilitas yang sehat dan dinamis. Kondisi stabilitas akan menghasilkan pemerintahan yang efisien dan efektif dalam
menjalankan amanahnya demi menciptakan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah yang memiliki kemampuan untuk menyerap aspirasi publik yang plural dengan spektrum luas dari segi etnik dan ideologis.

Wawasan Politik

Pertama, berkaitan dengan bentuk negara. Tujuan didirikannya PK Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar, adalah “Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridhoi Allah Swt dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”. PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama dalam masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Dalam realitas kebhinekaan itu, faktor Islam dan kaum Muslimin mengambil peran besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan maupun upaya pembangunan untuk mengisi kemerdekaan dalam rangka membentuk masyarakat yang adil dan makmur, sejahtera
lahir dan batin. Sebagai fakta historik, Islam dan berbagai manifestasi kebudayaannya telah berakulturasi dalam budaya Indonesia, telah menyatu dan menjadi identitas bangsa Indonesia itu sendiri. Peran kaum Muslimin yang berjumlah mayoritas dalam mengisi dan mewarnai negeri ini dari Sabang hingga Merauke
adalah faktor penentu bagi kohesivitas Indonesia itu. Toleransi dan inklusivitas kaum Muslimin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perekat yang secara faktual bekerja dalam sejarah Indonesia, yang terus menyebabkan Indonesia eksis dalam pentas peradaban mutakhir. Inilah posisi kaum Muslimin dalam bingkai pluralitas bangsa Indonesia yang diyakini PK Sejahtera. Karenanya, tanggung-jawab terbesar bagi pembangunan Indonesia berada di pundak kaum Muslimin. Maju-mundurnya negara Indonesia berada di tangan kaum Muslimin, kerja pemikiran, serta tetesan darah dan keringat mereka.
Berdasarkan hal itu, pemikiran yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara-bangsa yang bebas agama, yakni negara sekuler, yang memisahkan agama dari negara secara total, adalah pemikiran yang mengingkari fakta sejarah dan budaya Indonesia sebagai bangsa Muslim. Pemikiran yang absurd ini sungguh tidak relevan, karena, Indonesia adalah negara yang mengakui tauhid, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang penduduknya sangat relijius. Indonesia adalah negara kesatuan berdasar Ketuhanan Yang
Mahaesa.

Sebagai wujud dari rasa tanggung jawab kaum Muslimin dalam membangun rumah besarnya yang bernama Indonesia dan panggilan dakwah yang membawa misi rahmat bagi semesta alam, maka PK Sejahtera bahu-membahu bersama entitas politik lainnya untuk mengisi pembangunan bangsa menuju Indonesia yang maju, kuat, aman, adil, sejahtera dan bermartabat sesuai dengan cita-cita universal, yakni NKRI yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang aman dan makmur di bawah ampunan Yang Mahakuasa). PK Sejahtera mencitakan para pemimpin negeri ini termasuk para elit politiknya menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan nilai-nilai akhlaqul karimah, yakni bersikap santun, toleran, menepati janji, dan berkompetisi secara positif. PK Sejahtera ingin menjalankan politik keadilan dan menegakkan keadilan politik bagi masyarakat dengan moralitas yang bersih, peduli dan profesional. Dengan nilai-nilai luhur itu diyakini perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita yang diinginkannya akan semakin cepat dan dekat. Inilah wawasan politik PK Sejahtera dalam memandang realitas plularitas Indonesia dan cita-cita atas negara di masa depan, yang menjadi konsepsi dan cara pandang bagi gerak langkah perjuangannya. Kedua, berkaitan dengan konsolidasi demokrasi di masa transisi. Berdasarkan pemahaman yang mendalam atas kondisi perpolitikan Tanah Air dewasa ini, maka PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa “Indonesia Baru” di masa depan mestilah berada pada fase yang sehat dan dinamis. Yakni, terjadi pematangan dari kondisi transisi menuju konsolidasi demokrasi yang mantap, ditandai dengan terbuka lebarnya ruang ekspresi masyarakat dalam koridor hukum dan tertib sosial yang mapan. Stabilitas politik hadir akibat kedewasaan elit politik dalam berkontribusi bagi tegaknya keadilan
dan kesejahteraan rakyat serta tingkat pendidikan politik masyarakat terus meningkat.Stabilitas politik yang sehat dan dinamis muncul karena kesadaran akan konstitusi dan hukum serta peran sejarah seluruh anak bangsa untuk mengukir jalan ke masa depan Indonesia yang lebih baik, bukan stabilitas politik yang dipaksakan secara otoritarianmiliteristik seperi zaman Orde Baru. Stabilitas politik adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi dan munculnya kepercayaan pihak luar negeri dalam berinvestasi di Indonesia, karena pembangunan politik bukan hanya ditujukan untuk memberikan ruang publik yang lebar bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi, mengembangkan ekspresi diri, serta tegaknya keadilan
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga membentuk keterkaitan dengan pembangunan ekonomi dan membuka jalan bagi tumbuhnya kesejahteraan rakyat. Pembangunan politik dan pembangunan ekonomi adalah dua sisi mata uang dalam jiwa rakyat, dimana satu sisi mempersembahkan rasa adil dan sisi lainnya menciptakan kesejahteraan. Suksesnya pembangunan di dua sisi ini akan menumbuhkan perasaan aman dan tenteram bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam upaya membangun stabilitas politik bangsa itu, berbagai persoalan yang dapat memicu destabilitas politik nasional seperti separatisme, terorisme, radikalisme, kekerasan politik, dan etnonasionalisme perlu ditangani secara persuasif, arif bijaksana dan
sikap tegas, dengan terlebih dahulu mendalami akar masalah secara sosio-kultural. ketiga, berkaitan dengan model demokrasi. Eksperimentasi politik di era transisi reformasi saat ini ditandai dengan terbuka lebarnya ruang ekspresi dan ledakan partisipasi politik dalam bentuk munculnya banyak partai politik, namun tetap dalam format sistem presidensial. Sejarah perpolitikan Tanah Air sejak era Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin di zaman Orde Lama, serta Demokrasi Presidensial di zaman Orde Baru, sampai hari ini di era Reformasi dengan sistem Demokrasi Parlemen Multi-Partai memperlihatkan pergerakan ”bandul sejarah” dari sistem liberal-otoriter-liberal menuju sistem demokrasi yang lebih substansial dan stabil. Bercermin dari pengalaman sejarah, PK Sejahtera berkeyakinan bahwa sistem presidensial dengan jumlah partai yang terbatas tampak lebih mungkin untuk dicapai. Karena itu, penyederhanaan jumlah partai peserta pemilu secara bertahap dengan penerapan ”batas ambang” adalah langkah yang rasional dan obyektif. Indonesia yang multi etnik dan agama, dimana masyarakat berekspresi dalam berbagai ormas dan orpol, tetap dapat diagregasi dalam sistem politik terkendali tanpa mengabaikan aspirasi masyarakat yang beragam untuk menyuarakan keadilan.

Di masa depan perlu dikembangkan model demokrasi yang lebih sederhana, efisien dan murah. Sebab, saat ini dalam suatu daerah dapat terjadi beberapa kali pilkada/pemilu -- mulai dari level Kabupaten/Kota, Propinsi, kemudian Pemilu dan Pilpres di tingkat nasional. Dengan model demokrasi yang berjalan, maka calon peserta pilkada atau calon anggota legislatif harus mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk keperluan kampanye politik. Model seperti itu telah mengurangi kesempatan bagi calon berkualitasyang tidak memiliki sumber daya melimpah. Atau dengan kata lain, model demokrasi berbiaya tinggi itu hanya cocok untuk calon yang kaya-raya, terlepas dari bobot kualitas yang bersangkutan. Sudah saatnya dikembangkan model demokrasi yang lebih sehat dan mampu menjaring calon yang berkualitas melalui sistem yang lebih sederhana, efisien dan murah.

Mewujudkan Tata Kelola Pemerintah Yang Baik

Sebagai negeri yang luas dengan beragam etnik dan budaya, serta sumber daya alam yang berlimpah dan jumlah penduduk yang besar, maka rentang kendali pemerintahan di Indonesia demikian luas. Pasca krisis ekonomi, tatanan sosial-politik-ekonomi masih bersifat transisional, sehingga menuntut pemantapan dan redefinisi peran negara secara lebih tegas. Sementara globalisasi merupakan tekanan eksternal karena bersemangat ketidakadilan global yang merupakan tantangan bagi Indonesia sebagai negara berkembang.
Dalam kondisi penuh tekanan, tidak ada pilihan lain bagi Indonesia, kecuali membangun sistem ketatanegaraan yang stabil, mantap dan dinamis. PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa pemerintah mestilah
efisien dan efektif dalam mengelola negara. Secara bertahap bersama tumbuhnya kekuatan negara, maka pemerintah mengambil posisi pada pengelolaan fungsi minimal negara, dan membuka fungsi lainnya bagi partisipasi masyarakat. Dengan demikian pemerintah akan fokus dalam aspek pertahanan, keamanan, penegakan hukum, proteksi kepemilikan pribadi, manajemen makro ekonomi, dan kesehatan masyarakat serta program-program antikemiskinan dan penanggulangan bencana yang jelas merupakan fungsi-fungsi yang menjadi kewajiban negara untuk menegakkannya. Dengan fungsi yang lebih terkendali, maka pemerintah akan bekerja lebih fokus dan tidak terkuras energinya untuk mengurusi seremoni, sementara pembinaan negara akan tumbuh kuat.

Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah kelembagaan baik dalam aspek politik, hukum, maupun birokrasi dilakukan dengan meningkatkan:
(1) kemampuan badan pembuat regulasi untuk mengantisipasi perubahan dalam bidang ekonomi dan politik yang berlangsung cepat melalui serangkaian reformasi perundang-undangan, sehingga pembangunan politik dan ekonomi berjalan progresif;
(2) kesiapan lembaga-lembaga negara untuk berubah dan mentransfer diri ke dalam tata pemerintahan yang baik --dengan karakter utama: berwawasan ke depan, transparan, akuntabel, menerapkan prinsip meritokrasi, kompetitif, dan mendorong partisipasi publik-- melalui serangkaian peraturan, perbaikan tata-laksana, sistem insentif, pembinaan mental dan budaya, serta seleksi SDM berkualitas;
(3) pengetahuan akan desain organisasi/institusi yang bersangkutan, baik internal maupun dalam hubungannya dengan pihak eksternal organisasi;
dan (4) menghapus ambiguitas lembaga, sehingga nampak kejelasan tugas pokok, fungsi dan peran masing-masing lembaga negara. PK Sejahtera berkeyakinan bahwa hubungan vertikal ketatanegaraan dilaksanakan dengan menjalankan kewenangan pusat secara lebih efektif sekaligus dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan kewenangan daerah melalui penguatan kelembagaan dan pembinaan SDM. Hal itu sebagai upaya untuk mendekatkan perputaran ekonomi dan pembangunan secara umum dengan dinamika masyarakat. Untuk itu, PK Sejahtera memandang perlunya otonomi daerah yang terkontrol dan terkoordinasi dengan dan oleh pemerintahan pusat, namun tetap berorientasi pada semangat keadilan dan proporsionalitas melalui musyawarah dalam lembagalembaga kenegaraan di pusat, provinsi dan daerah. PK Sejahtera menentang dengan keras segala bentuk praktek otonomi daerah yang hanya menghasilkan konflik otoritas dan menyebarkan virus KKN kepada oknum-oknum daerah yang pada akhirnya menyengsarakan nasib rakyat. Karena itu, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan dana dekonsentrasi untuk pembangunan daerah menjadi sangat penting. Sebagaimana tata-kelola dan tata
hubungan pemerintahan secara horizontal, maka tata hubungan pemerintahan secara vertikal pun perlu kejelasan dan ketegasan, sehingga dihasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam mengeksekusi berbagai program demi tercapainya keamanan dan kesejahteraan rakyat.
Berkaitan dengan tata hubungan pemerintahan secara vertikal serta otonomi daerah, sebagai upaya untuk mendekatkan perputaran ekonomi dan pembangunan secara umum dengan masyarakat, maka PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa hubungan vertikal ketatanegaraan ini dilaksanakan dengan menjalankan kewenangan pusat secara lebih efektif sekaligus dengan meningkatkan kualitas pelaksanaan kewenangan daerah melalui penguatan kelembagaan, pembinaan SDM, dan capacity building. PK Sejahtera memandang perlunya otonomi daerah yang terkontrol dan terkoordinasi dengan dan oleh pemerintahan pusat, namun tetap berorientasi pada semangat keadilan dan proporsionalitas melalui musyawarah dalam
lembaga-lembaga kenegaraan di pusat, provinsi dan daerah. PK Sejahtera menentang dengan keras segala bentuk praktek otonomi daerah yang hanya menghasilkan konflik otoritas dan menyebarkan racun KKN kepada oknum-oknum daerah yang ujung-ujungnya menyengsarakan nasib rakyat. Karenanya transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan dana dekonsentrasi untuk pembangunan daerah menjadi sangat penting. Seperti juga tata-kelola dan tata hubungan pemerintahan secara horizontal, maka tata hubungan pemerintahan secara vertikal pun perlu kejelasan dan ketegasan, sehingga dihasilkan pemerintahan yang efektif dan efisien dalam mengeksekusi berbagai program demi tercapainya keamanan dan kesejahteraan rakyat.

PK Sejahtera berpendapat, bahwa dalam kerangka implementasi dan eksekusi kebijakan politik negara secara efisien dan efektif, maka keberadaan institusi birokrasi negara dan tata kelola pemerintahan yang baik, rapi dan kredibel akan mendorong terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang dinamis dan tanpa distorsi. Birokrasi yang bersih, peduli, dan profesional merupakan cerminan “tubuh” bangsa ini sehari-hari yang merefleksikan ruh pengelolaan negara. Berbagai upaya perbaikan terhadap birokrasi telah dilakukan berkaitan dengan netralitas birokrasi, peningkatan kesejahteraan pegawai negeri, serta pengembangan sistem pengawasan. Namun, tindakan itu jelas belum cukup. Untuk itu di masa depan PK
Sejahtera meyakini, bahwa perbaikan sistem rekrutmen dan promosi berdasarkan sistem meritokrasi serta pengembangan sistem renumerasi dan kesejahteraan pegawai negeri menjadi sangat penting dan strategis. Jumlah dan komposisi tingkat pendidikan SDM birokrasi perlu ditata ulang, khususnya berkaitan
dengan pelaksanaan tugas-tugas kepemerintahan di pusat maupun daerah, dan dalam bingkai fungsi minimalis negara.

Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses pemungsian norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Stabilitas politik dan keamanan hanya dapat tegak bila aturan hukum berjalan dengan semestinya. Keragu-raguan dan lemahnya penegakkan hukum akan membuat negara jatuh pada kondisi ketidakpastian dan instabilitas. Karena itu, PK Sejahtera bertekad untuk memelopori tegaknya supremasi hukum di Indonesia, dimana:
(1) pemerintah dan semua anggota masyarakat terikat oleh hukum;
(2) setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum;
(3) kemuliaan manusia diakui dan dilindungi oleh hukum; dan
(4) keadilan terjangkau oleh semua warga tanpa kecuali. Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan perundang-undangan yang transparan, hukum yang adil, penegakan hukum yang dapat diprediksi, dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga ketertiban.
PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa strategi penegakan hukum harus diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif, sesuai dengan pepatah, “hanya sapu bersih yang dapat membersihkan lantai kotor”. Sebab, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang bersih, baik di
kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum tersebut. Korupsi dan penyalahgunaan kewenangan telah merasuki berbagai sektor kehidupan masyarakat. Mulai dari pelayanan publik yang rutin, pengadaan barang dan jasa, hingga perumusan kebijakan publik diwarnai dengan gejala penyelewengan. Korupsi legislatif dan pimpinan daerah menjadi fenomena yang makin banyak ditemukan. Virus korupsi yang semula terpusat, bersama dengan penyelenggaraan otonomi daerah kini menyebar ke seluruh wilayah dan pelosok negeri, termasuk pula proses pemilihan anggota legislatif dan eksekutif penuh dengan aroma politik uang. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan tidak aspiratif, anggota legislatif atau pejabat eksekutif yang terpilih tidak representatif, dan pelayanan publik yang diberikan tidak optimal. Belum lagi terhitung dana haram yang diputar dalam pencucian uang, sehingga membuat perekonomian negara terkendala berat. Bahkan, virus KKN menyebar hingga lembaga-lembaga hukum dan penegak keadilan.
Gejala itu tidak hanya menimbulkan kerugian negara yang amat besar, namun melemahkan sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sehingga para koruptor dapat mengontrol sebagian besar aspek kehidupan masyarakat dan pemerintahan. PK Sejahtera menilai, bahwa tidak maksimalnya gerak Indonesia untuk maju ke depan menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan martabat bangsa disebabkan terutama oleh virus KKN. Energi negara boros, sumberdaya inefisien, kelembagaan rusak, moralitas
SDM semakin terpuruk, dan akibat akhirnya adalah kesengsaraan dan penderitaan masyarakat. Elite kaya semakin kaya, warga miskin semakin miskin; cita-cita Indonesia yang aman dan sejahtera makin sulit terjangkau. Karena itu, komitmen PK Sejahtera untuk memberantas KKN tidak dapat ditawar-tawar lagi, dan bahkan menjadi jati diri yang dipertaruhkan di hadapan sejarah. PK Sejahtera yang mendeklarasikan diri sebagai Partai Da’wah dan mengusung prinsip “Bersih-Peduli-Profesional” menjadikan KKN sebagai musuh besar bersama yang harus ditumpas seluruh komponen bangsa dengan komitmen penuh. Langkah nyata yang digariskan PK Sejahtera adalah memberikan contoh dan bukti pada perilaku kader-kadernya,
baik yang berada di lembaga-lembaga legislatif maupun eksekutif, disamping komitmen untuk terus mendorong lembaga seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan Agung dan Pengadilan untuk merapatkan
barisan dan menkonsolidasikan pikiran dan tindakan.

MembangunHankam

PK Sejahtera berkeyakinan, bahwa segala usaha pertahanan negara harus berujung pada upaya untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan, baik yang datang dari dalam, maupun dari luar negeri. Landasan pokok pembangunan pertahanan difokuskan pada fungsi TNI sebagai faktor penggentar, penindak dan perehabilitasi. Secara umum, seluruh komponen bangsa harus terlibat dalam usaha pertahanan negara. PK Sejahtera berpandangan, kesamaan langkah dan kesatuan gerak antara rakyat dan negara akan memperkokoh pertahanan negara. Untuk itu, PK Sejahtera merekomendasikan tujuh langkah solusi
strategis:
(1) menjadikan TNI sebagai elemen pertahanan negara yang berwibawa, profesional, efisien, dan bersih dari penyelewengan dengan meningkatkan kesejahteraan personil, memperbaharui teknologi peralatan kerja, termasuk persenjataan (alutsista), meningkatkan proporsionalitas TNI dengan jumlah penduduk, dan mengubah pengorganisasian tentara dari pendekatan teritorial ke pendekatan tempur;
(2) mengoptimalkan segenap potensi bangsa untuk mewujudkan kekuatan nasional yang tangguh, terutama dalam menghadapi kekuatan-kekuatan global yang berniat melemahkan Indonesia dengan politik penjajahan ekonomi, sosial, budaya maupun taktik intelejen;
(3) pemberdayaan industri pertahanan nasional dengan mendorong penggunaan produk industri dalam negeri, sehingga tumbuh kemandirian dalam bidang peralatan kemiliteran dan tidak tergantung pada produk peralatan militer asing;
(4) peningkatan kerjasama militer dengan negaranegara sahabat, selain untuk menciptakan kondisi keamanan kawasan, regional dan internasional, juga dalam rangka transfer teknologi pertahanan;
(5) menjadikan kekuatan rakyat sebagai modal dasar kekuatan negara dalam menghadapi ancaman
domestik dan asing, dengan meningkatkan kesadaran bela negara rakyat sesuai paham dasar sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Pasal 30 UUD 1945) serta keterampilan pertahanan negara;
(6) meminimalisir bibit-bibit separatisme dengan mengutamakan proses dialog untuk perdamaian,
penegakan keadilan, dan perwujudan kesejahteraan bagi daerah tertingal dan terbelakang, sehingga perlu transformasi paradigma penyelesaian konflik dari aksi militer sporadik menjadi aksi politik dan diplomasi damai; (7) penegakan disiplin keprajuritan harus dilandasi prinsip keadilan dengan menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Kebijakan tentang keamanan nasional tidak hanya didasarkan pada suatu persepsi tentang kebutuhan dan prioritas keamanan nasional, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, internal, tekanan tanggung jawab dan komitmen. Untuk itu kebijakan keamanan nasional harus sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi negara. Keamanan harus ditempatkan secara seimbang, antara keamanan negara (state security) dan keamanan manusia/individu (human security).
Untuk itu, PK Sejahtera menggusung kebijakan:
(1) mendorong pemerintah dan aparat kepolisian untuk melakukan perubahan paradigma dalam
menyelengarakan keamanan nasional, yaitu perubahan pendekatan militeristik ke pendekatan civilian;
(2) mendorong Kepolisian RI sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban nasional, penegak hukum, serta pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, menjadi elemen keamanan nasional yang berwibawa, profesional, efisien, dan bersih dari penyelewengan;
(3) mengoptimalkan segenap potensi bangsa untuk mewujudkan keamanan nasional yang tangguh sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam konstitusi negara;
(4) mendorong kerjasama pengamanan nasional dengan negara-negara sahabat guna menciptakan kondisi keamanan kawasan, regional dan internasional;
(5) menjadikan kekuatan rakyat sebagai modal dasar kekuatan negara dalam menghadapi ancaman domestik dan asing, dengan meningkatkan kesadaran masyarakat sesuai paham dasar sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta;
(6) menghadapi bibit-bibit gangguan keamanan nasional dengan mengutamakan proses perdamaian, penegakan keadilan, dan perwujudan kesejahteraan masyarakat, sebelum ditempuh tindakan keamanan
yang bersifat represif.

Langkah Penunjang Umum

Politik Nasional
Memelopori reformasi sistem politik, pemerintahan dan birokrasi, peradilan, dan militer untuk tetap berkomitmen terhadap penguatan demokrasi. Perubahan yang berkembang pasca reformasi telah mempengaruhi stabilitas politik domestik dan performa politik luar negeri. Praktek politik di kalangan elite memlihatkan carut-marut pertentangan dan perebutan kekuasaan. Namun, hal ini tidak mengurangi optimisme perubahan politik yang mendukung terciptanya model demokrasi yang lebih baik. Berbagai momentum demokrasi di masa transisi –Pemilu nasional yang berlangsung dua kali dan Pilkada di sejumlah daerah--, memberikan gambaran politik nasional yang penuh intrik, manipulasi, dan permainan para pemegang kekuasaan. Hal itu membuat stabilitas dalam negeri mengalami kegoncangan dan akhirnya berimplikasi pada kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Untuk itu diperlukan gerakan penyadaran politik di kalangan elite, disamping terus menggencarkan pendidikan bagi khalayak masyarakat. Politik memang tak dapat dipisahkan dari kekuasaan, namun tidak selamanya politik bermuatan kekuasaan. Sebab, politik juga bermakna perumusan kebijakan untuk mencapai kemaslahatan masyarakat. Politik akan bermanfaat lebih luas dari sekadar permainan kekuasaan di kalangan elite, jika dikembangkan secara
matang bagi pencapaian kemaslahatan bersama melalui rekayasa sosial dalam penguatan isu dan gerakan di masyarakat. Sebagai partai yang terus-menerus belajar memperbaiki kapasitasnya, PK Sejahtera tidak lagi melihat politik dalam arti sempit, sehingga kesempatan untuk ’bersiasat’ dengan cerdas dalam menjalankan politik merupakan keniscayaan yang harus dijalani di berbagai sektor. Arah dan perencanaan PK Sejahtera pada bidang politik adalah: Pertama, permasalahan separatisme harus dilihat dalam konteks akar masalah. Secara sosioantropologis, separatisme merupakan efek dari hubungan antar pemerintah pusat dengan kekuatan lokal yang didukung sentimen kesukuan dan kedaerahan, sehingga
dalam penyelesaiannya harus ditempuh jalan dialogis demi mencapai kedamaian yang lestari. Konflik sosial antar kelompok harus ditelaah akar masalahnya dan dicari solusinya dengan menggunakan pendekatan psikologisosial. Nilai-nilai yang ada dalam konteks masyarakat tersebut harus dilihat sebagai bagian dari kerangka budaya. Selain itu, kearifan lokal digali dan dipahami sebagai modal berharga untuk menyelesaikan konflik. Hal ini dapat dilakukan dengan mempengaruhi kebijakan sosial dan ekonomi,
mengontrol aparat keamanan, dan menguatkan operasi intelejen. Kedua, dalam memelihara potensi kebaikan dalam masyarakat (ri’ayah al mashalih al ijtima’iyah), masyarakat sipil, pemerintah, parpol, dan militer harus berkomitmen untuk ikut serta dalam pembangunan masyarakat melalui kerangka demokratisasi. Hal itu dapat dilakukan melalui penempatan polisi dan militer dalam fungsi pertahanan dan keamanan, dan tidak memasuki wilayah politik praktis.Ketiga, perubahan secara total dan radikal terhadap berbagai aspek mendasar kehidupan harus diawali dengan agenda reformasi. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan mengevaluasi jalannya reformasi.
Keempat, permasalahan sosiologis masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politik akan sangat berpengaruh pada pilihan politik masyarakat ketika Pemilu dan penyaluran aspirasi terhadap parpol.

Maka, reformasi sistem Pemilu yang jujur dan adil menjadi prioritas, dengan mencegah seoptimal mungkin kecurangan-kecurangan seperti politik uang, manipulasi suara, dan penyalahgunaan jabatan.
Begitu pula dengan kejelasan dana Pemilu dan parpol dapat disajikan secara transparan. Kelima, militer adalah bagian dari potensi kebaikan masyarakat, sehingga hubungan antara sipil-militer harus berjalan sinergis. Profesionalitas militer adalah hal terpenting dalam relasi itu, sehingga kontrol sipil atas militer, badan intelejen, dan penempatan posisi TNI dan Polri semakin jelas. Masalah bisnis militer dan pembenahan struktur komando di TNI dapat ditangani dengan prinsip profesionalisme.Keenam, komunikasi politik untuk mengokohkan kembali nilai spiritual Islam dan ajaran agama sebagai orientasi serta pedoman kerja harus mengungkapkan ide-ide parktis dan keteladanan untuk mempengaruhi persepsi masyarakat. Karena itu, menjalin komunikasi dengan media massa sebagai alat penerangan dan
penokohan adalah bagian untuk memelihara potensi kebaikan, bahkan bisa melakukan perubahan secara total dan radikal terhadap aspek kehidupan. Ketujuh, masyarakat harus diubah secara mental agar
mendapatkan kecerdasan dan kesadaran politik. Hal ini harus didasarkan pada psikososiologis masyarakat, sehingga tercipta kesadaran untuk berpartisipasi politik. Kedelapan, mengawal proses legislasi berdasarkan pemahaman sosioantropologis masyarakat, sehingga produk legislasi yang
dihasilkan sesuai dengan konteks sosial. Fungsi kontrol dan perimbangan kekuasaan (check and balances) akan terlaksana secara proporsional, bahkan dapat mempelopori pembuatan peraturan perundang-undangan yang mendukung aspirasi rakyat. Kesembilan, kontribusi dalam pemerintahan melalui kabinet akan berdampak pada terpeliharanya kebaikan masyarakat, sehingga dapat mempengaruhi setiap kebijakan pemerintah terutama sektor strategis dengan mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan golongan. Kesempatan untuk berkoalisi harus bersifat konstruktif, agar dapat menghasilkan kemanfaatan untuk dakwah dan perkembangan politik partai.

Kepemimpinan Nasional

Menumbuhkan kepemimpinan yang kuat yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sosok pemimpin mensyaratkan keunggulan moral, kepribadian, dan intelektualitas (Bersih, Peduli, dan
Profesional). Kepemimpinan merupakan aspek penting dalam kehidupan politik nasional sebagai pengarah bagi tercapainya cita-cita bangsa. Perjalanan sejarah Indonesia menunjukkan gejala keterbelakangan kepemimpinan, baik karena faktor pribadi yang tidak konsisten maupun lingkungan yang tidak kondusif. Pada masa awal revolusi kemerdekaan, Soekarno bersama Mohammad Hatta menjadi simbol kebangkitan bangsa, namun duet kepemimpinan itu akhirnya pecah akibat perbedaan sikap politik.
Demikian pula Soeharto pada masa awal Orde Baru memperlihatkan benih kepemimpinan yang memunculkan harapan akan perubahan, tetapi pengaruh kekuasaan yang lama bercokol telah membentuk oligarki yang menekan kebebasan warga. Pada masa reformasi 1998, pasca lengsernya rezim Orde Baru, rakyat mengalami proses transformasi secara menyeluruh, termasuk kondisi kepemimpinan. Dalam rentang waktu yang pendek (1998-2004), Indonesia mengalami proses suksesi beberapa kali dengan
konsekuensi krisis kepemimpinan yang dipercaya masyarakat luas.

Dalam sejarahnya, kekuasaan sepanjang Orde Lama memperlihatkan sikap yang otoriter di tengah kondisi sosial yang tercekam anarkisme sebagai akibat dari perlawanan total terhadap nilai-nilai warisan penjajah, sedang nilai-nilai baru keindonesiaan belum terformat dengan mantap. Perjalanan selanjutnya di masa
Orde Baru menunjukkan watak kekuasaan yang menuntut keseragaman dan mematikan keragaman, sehingga semangat revolusioner dan kreativitas bangsa yang tumbuh subur sejak masa kemerdekaan terpupus habis. Rakyat dikuasai oleh ketaatan buta dan terjebak pembangkangan dalam diam. Pada masa reformasi, sekali lagi terjadi tragedi karena para pemimpin pengganti mengalami kegagalan (disability) dalam proses belajar dari kepemimpinan sebelumnya. Gejala itu terlihat dalam karakter utama kepemimpinan nasional. Pertama, dalam pemerintahan B.J. Habibie (1998-1999) memang ada upaya untuk mengalihkan beban kesalahan kepada pemimpin terdahulu, namun tak juga menarik garis tegas (clean break) terhadap penyimpangan perilaku sebelumnya. Kedua, masa Abdurrahman Wahid (1999-
2001). Sikap sederhana dan amat fleksibelnya membuat kedekatan antara pemimpin dengan rakyat, tapi tak mampu menolong proses pemecahan masalah bangsa yang sangat kompleks. Kondisi ini diperparah dengan watak pribadinya yang kontroversial, sehingga lebih tampil sebagai trouble maker ketimbang problem solver.

Ketiga, masa pemerintahan Megawati Soekarnopueri (2001-2004) dikenal oleh masyarakat dengan kapabilitas yang minimal, sehingga terlihat ketergantungan yang kuat pada lingkaran inti kekuasaan. Ia
juga tak mampu mengelola benturan-benturan kepentingan dan sering salah persepsi terhadap umpan balik yang datang dari arus bawah masyarakat. Terakhir, keempat, Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang). Kepercayaan baru yang cukup tinggi dari masyarakat baru dipandang sebagai modal popularitas, namun tidak dikapitalisasi untuk memantapkan legitimasi dengan kerja nyata dalam berbagai aspek. Perubahan fundamental citra masih dihargai lebih tinggi daripada kinerja. Dalam situasi kekecewaan yang berulang-kali, masyarakat mendambakan tipe kepemimpinan baru. Agar tidak terjebak pada mitos ”Ratu Adil” (messianisme) yang akan membuah kekecewaan lebih dalam, maka diperlukan proses terobosan penumbuhan kepemimpinan baru dari lapisan generasi muda. Ada tiga hal yang perlu dimiliki dalam karakter pemimpin. Pertama Perencana, sosok yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspeknya, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kedua, Pelayan, figur pekerja yang tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Ketiga, Pembina, tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyatakat secara komprehensif. Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan nasional generasi baru, maka dibutuhkan proses belajar yang berkelanjutan. Hal ini dibuat dengan beberapa dimensi yaitu, pertama meliputi dimensi belajar untuk menginternalisasi dan mempraktekkan nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa, sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai penggerak perubahan. Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer, agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuin. Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai dasar bagi pengembangan masa depan Proses belajar kepemimpinan bukan merupakan uji coba (trial and error) yang beresiko tinggi, melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Pertama krisis
ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Kedua, bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan perlunya kehadiran tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat, serta berempati dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi membutuhkan urgensi kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam pemanfaatan sumber daya. Keempat, goncangan dalam kehidupan
pribadi dan sosial mensyarakatkan adanya kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi problema diri, keluarga dan bangsanya.
Walaupun problema nasional membutuhkan tampilnya kepemimpinan nasional sebagai salah satu aspek penting, namun proses pengkaderan dan penumbuhan kepemimpinan generasi baru perlu digarap dari tingkat lokal dan regional. Selanjutnya kualitas kepemimpinan nasional diuji dalam kancah global, apabila
Indonesia ingin memainkan peran yang lebih berarti dalam arena antar bangsa.

Ketatanegaraan

Mendorong penyelenggaraan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya sebagai suatu keniscayaan yang harus dijalani, demi perubahan hubungan ketatanegaraan yang lebih baik Konsekuensi dari konsep negara kesatuan dan sistem demokrasi turut mempengaruhi pilar-pilar lembaga negara yang terbentuk. Pembagian kekuasaan ke dalam tiga lembaga: legislatif, eksekutif, dan yudikatif menjadikan dinamika politik yang tinggi pasca reformasi berlangsung. Berbagai peran dan fungsi lembaga negara di Indonesia menjadi salah satu aspek pendukung jalannya demokratisasi. Secara obyektif peran dari lembaga negara adalah menciptakan keseimbangan dalam pelaksanaan roda kenegaraan. Di mana tugas masing-masing lembaga negara saling melengkapi dan saling melakukan koreksi, sehingga terjadinya harmonisasi. Sistem ketatanegaraan yang fungsional akan mewujudkan cita-cita reformasi menuju negara Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, dan berdemokrasi. Salah satu tujuan dari negara hukum seperti di Indonesia adalah terciptanya hubungan antar lembaga negara yang independen, tidak saling mempengaruhi dan mengintervensi. Fungsi dan wewenang secara umum, antara lain:
a. Eksekutif, adalah pelaksana kebijakan negara yang secara langsung bersentuhan dengan masyarakat. Eksekutif dapat juga dikatakan sebagai lembaga negara yang melaksanakan roda pemerintahan;
b. Legislatif; sebagai penyeimbang eksekutif dalam melaksanakan kebijakan yang telah diatur bersama. Angota legislatif merupakan representasi dari masyarakat secara umum karena keberadaan mereka yang dipilih secara langsung oleh masyarakat dalam pemilihan umum, maka legislatif membuat kebijakan dalam bentuk peraturan yang menjadi dasar pijakan dalam kerja pemerintahan;
c. Yudikatif, merupakan lembaga yang menjamin semua kebijakan dilaksanakan sesuai dengan prosedur. Apabila terjadi perbedaan pandangan atau sengketa dalam pelaksanaan kebijakan, maka yudikatif mengambil peran penengah dan penyelesai masalah, Karena itu, suatu keharusan bagi yudikatif untuk bersifat mandiri dan terbebas dari tekanan manapun.
Selama ini penyelenggaraan peran dan fungsi lembaga negara masih tumpang-tindih dalam hal kewenangan. Seringkali suatu kewenangan diperebutkan sebagai domain lembaga negara yang berbeda. Selain itu, terjadi intervensi antar lembaga negara yang satu dengan lembaga negara lainya, sehingga tidak jarang independensi suatu lembaga negara dalam mengeluarkan kebijakannya merupakan hasil kompromi para elit dalam lingkar kekuasaan. Tantangan dan kendala lain dipengaruhi oleh peran para apatur negara, karena mentalitas birokrasi acap tak berubah, meskipun kepemimpinan politik telah berubah berulang-kali.

Kelemahan jalannya fungsi dan peranan lembaga negara saat ini terdapat pada: pemahaman hubungan antarlembaga negara yang masih lemah di kalangan para elit; tata laksana hukum yang masih tumpang tindih dan kurangnya koordinasi; alur birokrasi yang rumit, sulit dan berbelit-belit; serta integritas para aparatur negara. Pada prinsipnya hubungan antar lembaga negara yang harus dilakukan menurut asas umum penyelenggaraan negara meliputi: asas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proposionalitas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Namun, saat ini sedikitnya terdapat 50 lembaga atau komisi negara yang bersifat independen di Indonesia. Kehadiran komisi khusus itu sama sekali tidak mengurangi masalah kebangsaan, sebab tugas dan fungsi lembaga negara yang ada malah cenderung tumpangtindih, sehingga konflik antarlembaga negara pun tak terhindarkan. Padahal, keberadaan lembaga negara sangat membebani keuangan negara. Triliuan rupiah uang negara yang bersumber dari utang dan pajak setiap bulan dipakai untuk menggaji anggota dan membiayai operasional lembaga. Bahkan, standar gaji dan tunjangan beberapa komisi berbeda-beda.
Institusi birokrasi lembaga negara yang rapih dan kredibel akan mendorong berjalannya perekonomian yang dinamis dan tanpa distorsi. Birokrasi yang bersih, efisien, dan ramping juga merupakan bentuk pemihakan yang paling berharga bagi rakyat miskin dan usaha kecil-mikro. Besarnya jumlah pegawai negeri membuat sistem penggajiannya menjadi sangat kompleks dan cenderung minimal, karena besarnya gaji yang diterima setiap pegawai hanya cukup untuk menopang hidup selama satu atau dua pekan. Lalu
untuk menutupi kekurangan, dicarilah berbagai cara seperti tunjangan jabatan dan berbagai tunjangan lainnya. Praktik-praktik seperti itu membuka peluang terjadinya korupsi. Namun, besarnya pembiayaan untuk meningkatkan gaji pegawai negeri agar lebih layak ternyata masih jauh lebih kecil, bila dibandingkan dengan nilai uang negara yang menguap karena praktik korupsi. Keputusan berani harus ditempuh untuk menuntaskan reformasi birokrasi. Ada empat belas karakteristik yang harus ditumbuhkan, bila kita ingin menerapkan wacana tatakelola pemerintahan yang baik, yaitu:
1.Berwawasan ke depan (visi strategis);
2. Bersifat terbuka (transparan);
3. Mendorong partisipasi masyarakat;
4. Bertanggung jawab dan bertanggung gugat (akuntabel);
5. Menjunjung supremasi hukum;
6. Berwatak demokratis dan berorientasi pada konsensus;
7. Berdasarkan profesionalitas dan kompetensi;
8. Bersikap cepat tanggap (responsif);
9. Menggunakan struktur dan sumber daya secara efisien dan efektif;
10. Kewenangan terdesentralisasi;
11. Mendorong kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat;
12. Berkomitmen pada pengurangan kesenjangan;
13. Berkomitmen pada lingkungan hidup;
14. Berkomitmen pada pasar yang sehat dan terbuka.

PK Sejahtera memandang bahwa penyelenggaraan lembaga negara yang sesuai dengan fungsi dan wewenangnya menjadi suatu keniscayaan yang harus dijalani, demi perubahan hubungan ketatanegaraan yang lebih baik. Pertama, lembaga-lembaga negara pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif berkedudukan sejajar dan seimbang dengan pemisahan antar kekuasaan yang lebih tegas demi terjaminnya perimbangan kekuasaan. Lembaga-lembaga independen diperlukan dalam pelaksanaan kewenangan khusus dengan secara definitif dan tegas membatasi tingkat dan jenis independensinya. Kedua, lembaga legislatif terdiri dari dua kamar demi tercapainya kualitas putusan yang lebih baik dan tertampungya jenis perwakilan lain selain perwakilan politik. Dalam prioritas legislasi, PK Sejahtera memfokuskan pada terbentuknya peraturan perundang-undangan yang membuktikan solusi konkret Islam terhadap problematika masyarakat yang paling mendesak. Ketiga, nilai-nilai universal Islam dan kepribadian islami harus menjiwai seluruh aspek kehidupan dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama bagi para aparatur negara yang beragama Muslim. Keempat, kekuasaan kehakiman harus mandiri dan merdeka. Kekuasaan untuk melakukan judicial review menjadi bagian dari kewenangan kehakiman yang harus dijalankan secara terbatas dengan mendasari pertimbangannya bukan saja semata-mata pertimbangan yuridis belaka (rechtmatigheid) tetapi juga pertimbangan tujuan diciptakannya hukum (doelmatigheid). Kelima, Presiden merupakan penanggung-jawab utama semua
kebijakan negara (single executive). Lembaga kepresidenan harus mendapat kontrol dari rakyat dan lembaga perwakilan rakyat dengan cara pelibatan rakyat secara langsung ataupun lembaga perwakilan rakyat dalam setiap pengambilan putusan secara proporsional. Keenam, model negara kesatuan menjadi pilihan hubungan antar pusat dan daerah dengan menekankan pada pelaksanaan kewenangan pusat yang lebih efektif dan peningkatan kualitas pelaksanaan kewenangan daerah.

Reformasi Birokrasi, Penegakan Hukum dan Pemberantasan Korupsi

Reformasi birokrasi dan lembaga peradilan dengan memperbaiki sistem rekrutmen dan pemberian sanksi-penghargaan, serta penataan jumlah pegawai negeri dengan memfokuskannya pada posisi fungsional untuk membangun birokrasi yang bersih, kredibel, dan efisien PK Sejahtera memandang bahwa kualitas institusi adalah prasyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan lestari. Namun
institusi birokrasi negara tampaknya masih lemah, terutama dalam menjalankan prinsip good governance dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Kondisi ini tentu saja menghambat proses pembangunan. Oleh karena itu, reformasi birokrasi menjadi agenda yang mendesak untuk dituntaskan. Reformasi birokrasi adalah pembenahan berbagai aspek kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen sebagaimana telah diamanatkan dalam Ketetapan MPR nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Institusi birokrasi yang profesional dan kredibel akan mendorong berjalannya perekonomian yang dinamis dan tanpa distorsi. Birokrasi yang bersih, efisien, dan ramping juga merupakan bentuk pemihakan yang paling signifikan bagi rakyat miskin dan usaha kecil-mikro. Karena itu, PK Sejahtera memandang bahwa reformasi birokrasi adalah sebuah keharusan untuk pemulihan ekonomi yang cepat dan berdimensi masa depan. Pelayanan birokrasi sering dikampanyekan, tetapi hingga kini birokrasi negara belum pernah diaudit dari sisi efektifitas struktur
organisasi. Betapa gemuknya organisasi pemerintahan terlihat dari jumlah pegawai negeri sipil yang mencapai 4 juta orang. Dengan rasio pegawai negeri yang tingi untuk setiap penduduk, maka Indonesia bisa disebut ‘negeri pegawai’ dan banyak potensi pegawai yang mubazir. Keinginan untuk menjadi pegawai negeri telah membentuk kultur kontraproduktif, karena menekan inisiatif berwirausaha. Akibatnya, sektor swasta mengalami keterbatasan tenaga yang berkompetensi tinggi dan tenaga asing menyerbu sektor strategis.

Perbaikan birokrasi negara tidak bisa dijalankan secara parsial. Seringkali kegagalan birokrasi dalam menjalankan fungsinya justru disebabkan oleh faktor internal. Kurangnya integritas pimpinan berikut jajaran birokrasi dalam menjalankan tugasnya dan lemahnya peraturan perundang-undangan mengenai akuntabilitas birokrasi masih menjadi hambatan utama. Maraknya praktek KKN merupakan isu sentral yang menyebabkan rendahnya kinerja birokrasi dalam mendukung pembangunan. Bahkan, perbaikan
hukum dan peradilan juga belum dapat diandalkan sebagai strategi pemulihan kepercayaan pihak luar untuk kembali berinvestasi di Indonesia. Hasil survei yang dilakukan oleh Transparansi Internasional
Indonesia menemukan fakta bahwa indeks persepsi korupsi Indonesia meningkat dari 2,0 pada 2005 menjadi 2,4 pada 2006. Peningkatan indeks itu menandai persepsi para pengusaha asing yang masih menganggap Indonesia sebagai surga korupsi. Bersenjatakan suap dan lobi-lobi khusus, para pengusaha dengan leluasa menggaet tender dari lembaga publik, standar pelayanan pun amat rendah. Survei itu juga menyimpulkan bahwa lembaga yang bersifat hirarkis dan mengurus penegakan hukum, yakni kepolisian dan peradilan, justru paling bermasalah dan menghambat pemberantasan korupsi. Sistem penggajian pegawai negeri tidak berdasarkan standar obyektif, sehingga besarnya gaji yang diterima pegawai rendahan hanya cukup untuk menyambung hidup satu atau dua pekan. Sebaliknya, pegawai berjabatan tinggi dan pejabat negara mendapat fasilitas melimpah disamping gaji tetap, sehingga amat memboroskan anggaran rutin negara. Rendahnya gaji pegawai menjadi alasan berbagai cara untuk menaikkan tunjangan jabatan dan praktik lain yang membuka peluang korupsi. Padahal, jika dikalkulasi, perbandingan biaya untuk meningkatkan gaji pegawai negeri ternyata masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan nilai
uang yang menguap karena praktik korupsi. Karena itu, diperlukan keberanian untuk menetapkan kebijakan reformis yang berdampak luas. Pada tahun 2003, perkiraan rekapitulasi jumlah uang yang
dikorupsi adalah Rp 215 triliun dari perpajakan; pencurian ikan, pasir dan kayu senilai Rp 76,5 triliun; subsidi bank rekapitalisasi yang tidak perlu Rp 14 triliun. Seluruhnya berjumlah Rp 305,5 triliun. Seandainya 30% dari dana itu dapat terselamatkan dengan pemberantasan korupsi, maka pemerintah sudah memperoleh pendapatan tambahan sebesar Rp 92 triliun. Itu dana yang besar untuk peningkatan kesejahteraan. Dengan mengacu pada praktik-praktik korupsi yang terjadi di tataran birokrasi, maka, pemberantasan KKN dapat dibedakan dalam dua dimensi. Pertama, pemberantasan KKN kasus per kasus.
Pemberantasan ini merupakan bentuk dari penegakan semua perundang-undangan dan peraturan yang berlaku. Kedua, penciptaan kondisi yang kondusif untuk pemberantasan KKN. Seringkali korupsi didorong oleh pendapatan yang kurang mencukupi, namun banyak juga korupsi yang didorong sifat keserakahan.

KKN sudah menjelma menjadi perampokan besar-besaran dari kekayaan rakyat. Karena itu, sukses-tidaknya pelaksanaan reformasi birokrasi juga beriringan dengan keseriusan dalam penegakan hukum. Prioritas pelaksanaan reformasi birokrasi harus menyentuh perbaikan-perbaikan di institusi hukum, terutama lembaga peradilan. Reformasi hukum adalah sarana untuk menenegakkan supremasi
hukum yang meliputi prinsip:
(1) pemerintah dan warga terikat oleh hukum;
(2) setiap orang di masyarakat diperlakukan sama di hadapan hukum;
(3) kemuliaan manusia diakui dan dilindungi hukum; dan
(4) keadilan terjangkau oleh semua. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan perundang-undangan yang transparan, hukum yang adil, penegakan hukum yang dapat diandalkan dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga ketertiban, serta adanya pemerintah yang memiliki legitimasi dan berdasarkan prinsip tata pemerintahan yang baik. Sebagai partai reformis, PK Sejahtera berkomitmen untuk mengawal jalannya reformasi birokrasi dan hukum. Komitmen tersebut diwujudkan dalam tiga agenda strategis:
Pertama, menuntaskan reformasi birokrasi. Untuk itu, PK Sejahtera akan menempuh berbagai langkah, yaitu:
(i) meningkatkan kinerja aparatur pemerintah melalui perbaikan sistem rekrutmen dan promosi berdasarkan merit-based system, bukan hanya perbaikan renumerasi;
(ii) menurunkan jumlah pegawai negeri melalui kebijakan zero growth dan memfokuskan mereka pada fungsi pelayanan publik seperti tenaga pendidik dan medis;
(iii) meningkatkan koordinasi dan sinergi antar institusi seperti Menpan, BKN, Depkeu, dan Depdagri untuk reformasi birokrasi yang efektif.

Kedua, menghilangkan inefisiensi sektor publik. Inefisiensi sektor publik bersumber dari dua hal, yaitu pemborosan dana dan korupsi. Menghapus kedua penyebab inefisiensi ini membutuhkan kebijakan yang komprehensif, tidak hanya masalah manajemen personal dan anggaran, tetapi juga meliputi aspek moral dan spiritual. Kebijakan itu meliputi:
(i) mengubah paradigma aparatur negara melalui pembinaan mental dan spiritual yang terus menerus dan sistematis;
(ii) mengubah budaya organisasi melalui pengenalan budaya organisasi modern;
(iii) penegakan peraturan dan sanksi yang tegas atas setiap penyalahgunaan jabatan publik.

Ketiga, menegakkan supremasi hukum. Reformasi lembaga peradilan nasional menjadi titik krusial untuk kepastian hukum, perbaikan iklim investasi, dan peningkatan efisiensi perekonomian. Kebijakan supremasi hukum meliputi:
(i) kepemimpinan yang kuat dan tegas untuk penegakan hukum nasional, baik di tingkat pemerintahan maupun lembaga peradilan;
(ii) menghapus korupsi dan penyalahgunaan jabatan di institusi peradilan;
(iii) peningkatan kompetensi aparat penegak hukum.

Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM

Penegakan hukum yang diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif, lalu menyempurnakan substansi hukum nasional dan membangun budaya hukum yang positif.
Indonesia adalah negara hukum yang menjamin keadilan bagi setiap warga negaranya sebagaimana tertera dalam penjelasan UUD 1945. Salah satu ciri khas negara hukum adalah adanya pengakuan dan perlindungan HAM yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Kenyataannya, proses penegakan hukum dan perlindungan HAM masih mengalami berbagai tantangan. Secara umum, ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja aparat penegak hukum. Pertama,
tidak maksimalnya institusi penegak hukum beserta perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kelembagaannya. Kedua, lemahnya budaya kerja aparat penegak hukum, termasuk kesejahteraan kelembagaan. Ketiga, belum terpenuhinya kelengkapan perangkat peraturan, baik yang
mendukung kinerja kelembagaan maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja.
Sebagai garda terdepan dalam penegakan keadilan, aparat penegak hukum seyogyanya menjadi kunci penyebaran keadilan bagi masyarakat. Tapi praktek yang ada dilapangan, kinerja aparat justru kontraproduktif terhadap perannya. Penegakan hukum adalah proses memfungsikan norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Secara prinsip, ketika negara dapat menjamin perlindungan HAM terhadap warganya, maka penegakan hukum akan menjadi langkah pertama yang otomatis dilakukan oleh negara. Berkedudukan dan diperlakukan sama di mata hukum, menjadi indikator sederhana bahwa penegakan hukum berjalan secara sehat.

PK Sejahtera, bersama seluruh elemen bangsa bertekad keras untuk terus memperjuangkan penegakan hukum dan perlindungan HAM ke arah lebih baik dengan tujuh solusi strategis sebagai berikut:
Pertama, strategi penegakan hukum harus diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif. Sebab, penegakan hukum sangat bergantung pada aparat yang bersih baik di kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan seluruh jajaran birokrasi yang menjalankan fungsi-fungsi penegakan hukum. Kedua, mendorong penindakan hukum yang tegas, namun menghormati asas keadilan dan due process of law terhadap kejahatan yang merugikan keuangan negara dan moralitas, seperti pembalakan hutan, perpajakan, dan narkoba. Ketiga, mendukung upaya pemberantasan (penindakan maupun pencegahan) korupsi. Pemberantasan korupsi harus berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, oleh karenanya pencegahan korupsi dan pengembalian kerugian negara menjadi prioritas. Dimensi ini dapat dilakukan dengan cara:
i)berperan aktif dalam pembentukan perundang-undangan yang mendukung pemberantasan korupsi, baik di tingkat nasional maupun daerah;
ii) berperan aktif dalam reformasi birokrasi, terutama di daerah-daerah dimana kader partai memiliki akses kuat kepada birokrasi.
Keempat, memastikan pemerintah memberikan jaminan perlindungan HAM berdasarkan muatan HAM dalam konstitusi yang diwujudkan dengan:
i) membuat aturan pelaksanaan dalam upaya implementasi seluruh materi-materi HAM dalam konstitusi dan undang-undang menjadi aplikatif;
ii) melakukan revisi terhadap semua peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai, bertentangan atau berpotensi bertentangan dengan materi HAM dalam konstitusi;
iii) memperhitungkan perlindungan HAM dalam semua kebijakan pemerintah.
Kelima, mendorong pemerintah untuk memenuhi hak-hak ekososbud --seperti hak atas pekerjaan, hak atas kehidupan yang layak, hak atas pangan serta hak-hak pekerja dan lain sebagainya. Langkah ini hendaknya menjadi prioritas utama pemerintah terutama dalam rangka membuat kebijakan tentang pemulihan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, mengingat terbengkalainya aspek keadilan sosial dan tingkat kemiskinan negara kita yang semakin mengkhawatirkan.
Keenam, mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan posisi RI sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB dalam menciptakan perdamaian dunia, serta memastikan terjaminnya perlindungan HAM di tingkat internasional tanpa pandang bulu.
Ketujuh, memastikan pemerintah memberikan ruang kebebasan berekpresi. Kebebasan berekspresi ini diberlakukan bukan saja sebagai hak asasi warga negara, tetapi juga harus diberlakukan sebagai kewajiban tiap warga negara. Dalam ajaran dan sejarah Islam, hisbah (kontrol publik berupa amar ma’ruf dan nahi munkar) merupakan bentuk kebebasan berekspresi telah terbukti menjadi alat kontrol yang efektif bagi para penguasa.

Pertahanan

Menjadikan kekuatan rakyat sebagai modal dasar kekuatan negara dalam menghadapi ancaman domestik dan asing, dengan meningkatkan kesadaran bela negara masyarakat melalui penumbuhan rasa saling percaya dan semangat kebangsaan baru. Pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan
hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya NKRI dengan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang telah diamandemen. Pertahanan negara adalah segala usaha untuk memelihara kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan . Mencermati dinamika domestik, regional maupun global, maka ancaman yang sangat mungkin dihadapi Indonesia ke depan dapat berbentuk ancaman keamanan tradisonal dan ancaman keamanan non-tradisional. Kemungkinan ancaman keamanan tradisional berupa invansi atau agresi militer dari negara lain diperkirakan kecil. Ancaman keamanan non-tradisional, yaitu setiap aksi yang
mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah serta keselamatan bangsa dan NKRI. Ancaman yang berasal dari luar kemungkinan bersumber dari kejahatan terorganisir lintas negara yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara, dengan memanfaatkan kondisi dalam negeri yang tidak kondusif. Perkiraan ancaman dan gangguan yang akan dihadapi Indonesia meliputi aksi terorisme, gerakan separatisme, kejahatan lintas negara, pencemaran dan perusakan ekosistem, imigrasi gelap, pembajakan/perampokan,
aksi radikalisme, konflik komunal, dan bencana alam. Dalam rangka pertahanan negara, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Meskipun peran sebagai alat pertahanan negara yang utama tetap berada di pundak TNI. Tantangan utama dalam pengikutsertaan warga negara adalah rendahnya tingkat kesadaran untuk terlibat dalam upaya pertahanan negara. Secara internal, TNI juga menghadapi beberapa kendala. Kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) belum memenuhi standar. Kondisi ini terjadi karena minimnya anggaran yang dialokasikan pemerintah dalam APBN. Untuk tahun 2006, hanya dianggarkan US$ 2,8 miliar atau kurang dari 1% dari Produk Domestik Bruto, sedangkan anggaran pertahanan negara-negara lain berkisar 3% dari PDB, bahkan ada negara yang menetapkan 6-8 % dari APBN. Komitmen pemerintah untuk mengembangkan industri pertahanan dalam negeri pun belum dapat dirasakan. Di sisi lain, tingkat kesejahteraan prajurit sebagai pengemban amanah pertahanan juga mengkhawatirkan. Hal itu merupakan
salah satu sebab munculnya berbagai tindak penyelewengan yang dilakukan sejumlah oknum aparat, termasuk bisnis militer. Segala usaha pertahanan negara harus berujung pada upaya untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Landasan pokok pembangunan pertahanan difokuskan pada fungsi TNI sebagai faktor penggentar, penindak dan perehabilitasi. Secara umum, seluruh komponen harus terlibat dalam segala usaha pertahanan negara.
platform politik
PK Sejahtera berpandangan, kesamaan langkah dan kesatuan gerak antara rakyat dan negara --termasuk TNI di dalamnya-- akan memperkokoh pertahanan negara. Untuk itu, PK Sejahtera merekomendasikan tujuh solusi strategis sebagai berikut: Pertama, menjadikan TNI sebagai elemen pertahanan negara yang
berwibawa, profesional, efisien, dan bersih dari penyelewengan dengan berupaya meningkatkan kesejahteraan personil. Selain itu, memperbaharui teknologi peralatan kerja termasuk persenjataan,
meningkatkan proporsionalitas dengan jumlah penduduk, dan mengubah pengorganisasian tentara dari pendekatan teritorial ke pendekatan tempur TNI. Kedua, mengoptimalkan segenap potensi bangsa untuk
mewujudkan kekuatan nasional yang tangguh, terutama dalam menghadapi kekuatan-kekuatan global yang berniat melemahkan Indonesia dengan politik penjajahan ekonomi, sosial, budaya maupun taktik intelejen. Ketiga, pemberdayaan industri pertahanan nasional dengan mendorong penggunaan produk industri dalam negeri sehingga tumbuh kemandirian dalam bidang peralatan kemiliteran dan tidak tergantung pada produk peralatan militer luar negeri. Keempat, peningkatan kerjasama militer dengan negara-negara sahabat, selain untuk menciptakan kondisi keamanan kawasan, regional dan internasional, juga dalam rangka transfer teknologi pertahanan. Kelima, menjadikan kekuatan rakyat sebagai modal dasar kekuatan negara dalam menghadapi ancaman domestik dan asing, dengan meningkatkan kesadaran bela negara rakyat sesuai paham dasar sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, serta keterampilan pertahanan negara. Untuk itu rasa saling percaya dan semangat kebangsaan baru harus ditumbuhkan, seraya mengendalikan konflik horizontal yang tersisa. Keenam, meminimalisasi bibit-bibit separatisme dengan mengutamakan proses dialog untuk perdamaian perdamaian, penegakan keadilan, dan perwujudan kesejahteraan bagi daerah tertindas dan terbelakang. Dengan demikian perlu transformasi paradigma penyelesaian konflik, dari aksi militer sporadik menjadi aksi politik dan diplomasi damai. Ketujuh, penegakan disiplin keprajuritan harus dilandasi prinsip keadilan dengan menyeimbangkan hak dan kewajiban.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer