Seorang composer atau disebut pencipta lagu pada hakekatnya adalah orang-orang yang bekerja , beranjak dari daya imaginasi yang mereka miliki . Kemampuan mengelola daya imaginasi yang tidak dimiliki oleh orang-orang kebanyakan lainnya yang berprofesi dengan menggunakan “logika” atau sesuatu yang nyata / konkrit atau juga disebut eksak .

Jadi pada intinya kaum pencipta lagu atau composer bisa juga disebut sebagai kaum ‘peng-khayal” . Orang tidak akan mampu mengembangkan khayalannya apabila daya sensitivitas-nya tumpul tak ter-asah dengan baik bahkan tidak peka . Sekaligus menjadi pertanyaan yang harus dijawab oleh “tugas profesi” itu sendiri , bagaimanakah meletakkan sensitivitas bagi terciptanya imaginasi dan khayalan agar bermanfaat / berguna dan juga “ber-martabat” .

Seorang pengkhayal yang baik , akan menggunakan daya sensitivitasnya untuk menyerap persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan dan kehidupannya sendiri . Sebaliknya seorang pengkhayal yang “pas-pas-an” akan memaksa-maksakan imaginasi (mengarang-ngarang cerita) agar mampu melahirkan suasana baru yang tampak dan sekedar terdengar ‘provokatif’ guna menarik perhatian masyarakat pendengarnya .

Hasil karya dari sebuah perenungan yang mendalam terhadap lingkungan (kontemplatif) , akan memiliki kekuatan hingga menyentuh bathin , karya tersebut mampu menciptakan komunikasi dan menjalin relasi dengan bathin-bathin orang-orang lain yang mendengarnya . Karya tersebut akan me-nafkahi kalbu dan memberikan kontribusi bagi pencerahan jiwa dan kehidupan manusia yang lainnya .

Sebaliknya karya musik dan lagu yang diciptakan sekedar provokatif / heboh / dan “sensasional” hanya akan menyentuh raga yang hanya akan menyulut adrenalin otot untuk bergerak atau ber-goyang sesaat saja . Sementara otak di isi kepala tidak mendapatkan manfaatnya apa-apa .

Ketika system Industri berkembang sedemikian pesatnya di Indonesia , tanpa dibarengi dengan berkembangnya “kesadaran” menggali tema oleh generasi-generasi baru komposer-nya. Lagu dalam bingkai musik hanya dipahami sekedar “bunyi-bunyian” yang secara teoritis diajarkan dibangku pendidikan , padahal pendidikan / sekolah musik hanya mengajarkan bagaimana caranya agar fasih memainkan alat / instrument musik itu sendiri . Persoalan “muatan” hanya ada dan hanya bisa dipelajari di “kehidupan yang real” itu sendiri .

“Tren” atau mode yang asal semakin “mirip” dengan musik dan lagu orang lain menjadi kebanggaan . Design bunyi-bunyian asal modern berperan sangat dominant dan menjadi segala-galanya . Persoalan tema dikesampingkan dan menjadi urutan terakhir bagi sebuah kebutuhan ber-ekspresi . Musik pop Indonesia saat ini hanya berfungsi menampilkan “gaya” , kulit luar tanpa isi yang memadai .

Maka , ketika gaya serta tampilan menjadi “sandaran utama” , musik Indonesiapun tersekap menjadi epigon ”tampilan dan gaya” , mencontoh habis-habisan paradigma bermusik dan lagu yang sudah ada .

Tidak lagi dihargai berbagai upaya dari kelompok-kelompok komposer yang ingin menampilkan jati dirinya sebagai orang Indonesia dengan persoalan yang ada di Indonesia . Mereka semua semakin di-marginalkan dengan sebutan orang-orang yang “sok idealis” dan sebagainya .
Musik Indonesia mirip dengan dunia sinetron dilayar kaca televisi Indonesia , megah mewah dan glamour.. namun hanya “seolah-olah” . Sebab apa yang terlihat dan terdengar tak bermakna apa-apa dengan persoalan “real” di-kehidupannya yang nyata .

Mirip dengan mimpikah..? ya.., nyatanya memang hanya mimpi yang menjadi tujuan bermusik di Indonesia. Dan sepertinya orang bermusik Indonesia saat ini memang gemar memuja-muja mimpi .

Mimpi memang dibutuhkan …, tapi bukan ngigau atau ngelindur .

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer